
Oleh : Nofer Saputra )*
Program Sekolah Rakyat menjadi wujud nyata komitmen pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk menghadirkan pendidikan berkeadilan dan inklusif bagi seluruh anak bangsa. Program ini bukan hanya inovasi dalam bidang pendidikan, tetapi juga strategi besar dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang unggul, berkarakter, dan berdaya saing. Hingga September 2025, Kementerian Sosial mencatat sebanyak 160 Sekolah Rakyat telah beroperasi di berbagai wilayah Indonesia, sementara lima titik lainnya tengah melengkapi sarana dan prasarana sebelum dibuka secara penuh. Data ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memperluas akses pendidikan hingga ke daerah-daerah tertinggal.
Menteri Sosial, Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) menegaskan bahwa Sekolah Rakyat dirancang sebagai pusat pendidikan yang sekaligus menjadi miniatur pengentasan kemiskinan terpadu. Konsepnya mengintegrasikan sejumlah program prioritas nasional, seperti Cek Kesehatan Gratis (CKG), Makan Bergizi Gratis (MBG), jaminan kesehatan, Koperasi Desa Merah Putih, hingga pembangunan rumah layak huni. Pendekatan lintas sektor ini menjadi kekuatan utama Sekolah Rakyat karena tidak hanya memfokuskan diri pada pendidikan formal, tetapi juga menciptakan lingkungan sosial yang mendukung kesejahteraan keluarga miskin secara menyeluruh.
Kementerian Sosial sebagai pelaksana teknis menargetkan total 165 Sekolah Rakyat di tahun ajaran 2025/2026, dengan kapasitas hampir 16 ribu siswa. Lebih dari dua ribu guru dan empat ribu tenaga pendidik telah disiapkan untuk mendukung operasional lembaga ini. Angka tersebut menggambarkan skala dan keseriusan proyek yang bertujuan membangun generasi baru Indonesia yang merata secara akses dan kualitas pendidikan. Sekolah Rakyat menjadi simbol keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat kecil, sekaligus bukti bahwa pembangunan manusia kini tidak lagi terbatas pada kota besar, melainkan menyentuh hingga pelosok negeri.
Dari sisi legislasi, dukungan terhadap program ini juga datang dari anggota DPR RI Dapil Madura, Ansari yang menilai Sekolah Rakyat sebagai langkah konkret Presiden Prabowo dalam memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa program ini tidak sekadar mencetak lulusan berijazah, tetapi juga membangun mental dan karakter anak-anak keluarga pra-sejahtera agar mampu bersaing di tingkat nasional bahkan global. Sekolah Rakyat hadir sebagai penggerak harapan baru di daerah-daerah yang selama ini terpinggirkan dari pusat pertumbuhan pendidikan.
Menurut Ansari, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi dalam pelaksanaan program, seperti distribusi dan kesejahteraan guru, ketersediaan asrama, hingga keterbatasan anggaran operasional. Namun, tantangan tersebut bukan penghalang, melainkan pemicu bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk terus berinovasi. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor (pemerintah pusat, daerah, swasta, dan masyarakat) dalam memastikan keberlanjutan program ini. Evaluasi berkelanjutan serta integrasi kurikulum yang relevan dengan kebutuhan lokal juga menjadi kunci keberhasilan Sekolah Rakyat ke depan.
Lebih jauh, Ansari menilai pentingnya menjaga keterhubungan antara Sekolah Rakyat dengan lembaga pendidikan berbasis keagamaan seperti pesantren. Di Madura, misalnya, pesantren telah lama menjadi pusat pendidikan karakter dan kemandirian. Sinergi antara Sekolah Rakyat dan lembaga keagamaan akan memperkuat pendidikan nilai, moral, serta kearifan lokal. Pendekatan ini selaras dengan semangat pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki karakter, spiritualitas, dan identitas budaya yang kuat.
Apresiasi terhadap Sekolah Rakyat juga datang dari Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, yang menyoroti pendekatan humanis dan psikologis dalam proses pendidikan di Sekolah Rakyat Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Ia menilai model pendidikan yang diterapkan di sana berhasil menyeimbangkan antara kedisiplinan dan kasih sayang. Para pendidik tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga membangun kedekatan emosional dengan siswa. Anak-anak didorong untuk mandiri, namun tetap merasakan kehangatan seperti di rumah. Pola ini terbukti membantu siswa beradaptasi dengan lingkungan berasrama tanpa kehilangan rasa aman dan percaya diri.
Pendekatan humanis tersebut menjadi salah satu pembeda utama Sekolah Rakyat dibandingkan dengan sistem pendidikan konvensional. Di Banjarbaru, pemerintah daerah turut mendukung keberhasilan program dengan menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai melalui pemanfaatan Badan Diklat Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Sekolah Rakyat di sana bahkan menawarkan beragam kegiatan ekstrakurikuler yang membentuk kepribadian, menumbuhkan minat, serta menanamkan nilai tanggung jawab dan kepemimpinan pada siswa. Model ini membuktikan bahwa pendidikan tidak semata soal transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter yang kokoh.
Lebih dari itu, Sekolah Rakyat juga mencerminkan kehadiran negara yang berpihak pada rakyat kecil. Pemerintah tidak lagi hanya berbicara soal pemerataan pendidikan, tetapi menghadirkannya secara nyata melalui kebijakan yang terukur dan berdampak langsung. Setiap Sekolah Rakyat menjadi bukti bahwa anak-anak Indonesia, di mana pun mereka lahir, memiliki hak yang sama untuk bermimpi dan berprestasi.
Melalui program ini, pemerintah menunjukkan bahwa pendidikan bukan sekadar tanggung jawab sektor pendidikan, tetapi merupakan instrumen utama dalam menciptakan keadilan sosial dan ekonomi. Sekolah Rakyat menjadi simbol bahwa pembangunan sejati dimulai dari manusia—dari anak-anak yang diberi kesempatan belajar, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan yang sehat serta berkarakter. Dengan dukungan penuh dari semua pihak, Sekolah Rakyat diyakini akan menjadi pondasi kuat bagi masa depan bangsa yang lebih adil, berdaya, dan bermartabat.
)* Penulis adalah Pengamat Pendidikan